Kesalahanku

Senin, 23 September 2013
Haii.. hari ini mimin akan ngepost cerpen yang awalnya buat tugas sekolah, namun karena keluar jalur jadi tereliminasi. dan cerpen yang dikumpulkan adalah cerpen sebelum pos ini yaitu "Sahabat Tak Terduga". Cekidooot broo..!!!
25 tahun yang lalu, namaku tercatat dalam catatan sipil bersama Siska istriku. Pernikahan yang sederhana dengan tak bersama orang tua kami, melainkan Wali kami. Dengan kurun waktu 30 menit prosesi pernikahan kami selesai, tanpa sungkem dan siraman atau hidangan khas penikahan dan jabat tangan dari kerabat. Namun aku bersyukur teman kami Humam dan Nurul masih menyempatkn hadir sebagai saksi.
23 tahun yang lalu, pekerjaanku bukan pekerjaan elit, tapi cukup sebagai penyambung hidup keluargaku. Ya, keluargaku, karena kami baru saja dikarunia seorang putri, kuberi nama Sakira. Aku berharap putriku akan menjadi orang yang sempurna, maksudku sempurna dalam berbudi. Kulitnya masih tipis dan lembut, mungkin karena umurnya baru menginjak satu minggu. Namun sayang, peri mungilku tak dijenguk oleh kakek neneknya dan aku merasa prihatin. Ya sudahlah, aku merenung dan menccoba menerima nasib kembali. Orang tuaku dan orang tua Siska tak merestui hubungan kami. Namun aku tak berhak untuk membenci mereka. Aku hanya bisa berharap, suatu ketika mereka berubah dan merestui kami.
20 tahun yang lalu, Sakiraku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari dan melompat-lompat atau meloncat dari sofa ke sofa yang lain lalu loncat kembali ke lantai kemudia berteriak girang “Horeee Ia bisa terbang” begitulah dia memanggil dirinya sendiri dengan Ia. Tak jarang Siska berteriak “ Iaa sayaang hati-hati” jika sudah terdengar suara “praang”, berarti ada sesuatu yang pecah. Bisa vas bunga, piring, atau gelas, terakhir pot bunga kesangan ibunya pecah tersandung kakinya.
18 tahun yang lalu, Sakira ulang tahun. Aku sengaja menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat dan pulang lebih awal agar bisa membelikan hadiah untuk Sakira. Sudah lama Sakira merengek minta dibelikan bola, namun Siska tak membelikannya dengan alasan tak mau anaknya menjadi tomboy apalagi jadi pesepak bola seperti yang dikatakannya. “Besok kalo udah gede Ia ingin menjadi pemain bola”. Namun aku tak ingin melihatnya menangis terus menerus meminta bola, makanya aku ingin menghadihi bola untuk Sakira dihari ulang tahunnya. Yahh.. paling tidak untuk lawan main pas weekend. Dan sudah kuduga, ia bersorak gembira ketika ku berikan bola itu. “Hore.., Ia jadi pemain bola.” Kata sakira dengan muka polosnya.
17 tahun yang lalu, aku tak tahu bagaimana Siska tak tahu jika Sakira menyembunyikan bola ditas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari Sabtu saat menjemput Sakira pulang. Kudapati ia sedang menggiring bola sepanjang jalan dan semakin lama semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, kekhawatiranku mengalahkan kehati-hatianku. Tiba-tiba sebuah truk datang dan menabrakku, lindasn ban besarnya berhenti tepat dikedua kakiku. Tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kudapati diriku diatas ranjang rumah sakit dengan kaki telah diamputasi. Bayang-bayang suram menyelimuti pikiranku, mau kasih makan apa keluargaku ini sedangkan aku tak mempunyai kaki. Apalagi pekerjaanku sebagai pengantar barang.
15 tahun yang lalu, perekonomianku amburadul. Uang pesangon dari perusahaan sudah habis untuk bolak-balik rumah sakit, uang tabunganpun sudah ludes menjadi asap dapur. Perabotan rumah tangga yang bisa dijual sudah habis. Siska mulai berubah, Sakira sering dibentak dan tak diperhatikan. Aku hanya bisa membelainya dan berkata, “mama sedang pusing jadi cepat marah”. Dan aku terkejut ketika Siska mengutarakan niatnya untuk bekerja keluar negeri agar penghasilan bertambah. “Diizinkan ataupun tak diizinkan Siska tetap akan berangkat”, cetusnya.
            13 tahun yang lalu, perekonomianku mulai membaik. Siska mengirimiku uang hasil bekerjanya, tapi itu hanya setahun kurang lebih. Setelah itu aku tak mendengar kabarnya. Apalagi tahun ini Sakira daftar SMP. Ya, anakku memang dibilang cukup cerdas sehingga ia bisa loncat 1 tahun di SD-nya. Akan kupaksakan diriku bekerja agar Sakira dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bekerja apapun yang penting mendapatkan uang yang halal bagi keluargaku.
10 tahun yang lalu, aku sedih karena banyak tetangga yang menyela kecacatanku. “Suami dan bapak macam apa kamu ini...” kalimat itu uang seriing kudengar dari mereka. Sakira hanya sanggup berlari kekamarnya lalu menangis sesenggukan. Dia juga sering jadi bulan-bulanan hinaan oleh teman-temannya. Aku hanya bisa menenangkannya. Dan pada suatu saat anakku bilang “pak aku ingin berhijab saja agar tak mendapat hinaan dari mana-mana”. Aku hanya bisa menangis dan bilang dalam hati “maafkan bapakmu ini nak”.
7 tahun yang lalu, seharian ini aku kembali memikirkan Siska yang sudah bertahun-tahun tak terdengar kabarnya. Tak bisa kubohongi diriku sendiri jika aku masih menyimpan rindu padanya. Dan itu pula yang membuatku takut, semalam Sakira mengutarakan niatnya untuk bekerja menjadi TKI ke Arab dengan alasan sulit mencari pekerjaan disini sebagai lulusan SMP. Sulit bagiku untuk melepaskan anakku pergi. Dia bilang kalau aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan menyuruhku untuk beristirahat. Dia berjanji akan mengirimi ku uang untuk kebutuhan sehari-hari dan ditabung. Setelah itu ia akan pulang menemaniku membuka usaha kecil-kecilan sebagai penyambung hidup. Dan seperti yang telah lalu, aku tak kuasa menghalanginya pergi. Aku hanya bisa berdoa agar Sakira baik-baik saja.
4 tahun yang lalu, Sakira tak pernah telat mengirimiku uang. Hampir tiga tahun ia disana. Dia bekerja sebagai pelayan di rumah seorang nyonya. Namun, ia tak suka dengan suaminya yang sering ia panggil Baba. Matanya tak pernah megisaratkan hal baik, ia juga penuyka wanita. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang ia ingin pulang, karena akhir-akhir ini ia sering diganggu oleh si Baba. Lebaran ia akan berhenti bekerja dan pulang, itu yang kubaca dari suratnya. Aku sudah tak sabar menunggu saat-saat itu, berkumpul kembali dengan anakku yang tercinta. Ia juga sekarang lebih pintar dan dewasa menasehatiku untuk menjaga kesehatan dan rajin beribadah.
3 tahun yang lalu, seakan setengah nyawaku telah hilang. Aku mendapat surat dari kepolisian Arab bahwa Sakira ditahan dan lebih menyakitkannya adalah ancaman hukuman mati, karena ia membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendengar kabar ini, aku menangis dan tak percaya Sakiraku yang lemah lembut mana mungkin jadi pembunuh. Tenaga tuaku kukuras untuk meminta bantuan hukum Indonesia, agar hukumannya diringankan jika memang bersalah.
2 tahun yang lalu, akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani  hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi nasibnya tak akan seburuk ini. Andai aku tak belikan ia bola pasti keadaanku lebih baik.  Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku, atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Arab. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak, ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.  Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur kearahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku. “Bapak, Ia takut” aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. “Kenapa, kenapa kamu membunuhnya sayang?”
“Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengan iya Pak,  Ia tidak mau, Ia dipukulnya,  Ia takut dan Ia dorong lalu dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati, Ia tidak salah kan, Pak?” Aku perih mendengar itu
1 tahun 4 bulan yang lalu, aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Arab selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu. Dan lupa aku selalu berdoa agar anakku akan baik-baik saja.
1 tahun yang lalu, hari ini anakku dieksekusi hukuman gantung, dan wanita itu akan hadir melihat pengeksekusian anakku. Aku mendengar dari perugas dia sudah datang dan berda dibelakangku. Aku tak mau melihat wanita itu. Aku melihat isyarat tangan dari hakim ke petugas untuk membuka papan yang diinjak anakku. Dan, blaass... anakku yang mungil yang bercita-cita menjadi pemain bola sudah tergantung dan tak bernyawa. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan dan aku mendengar langkah kaki menuju ke arahku. Ternyata wanita itu, dengan membuka cadarnya dan tersenyum sinis ke arahku. Dalam samar penglihatku, kumelihat sosok yang kukenal.
“Siska?”
“Mas Tono, kau...!”
“Kau... Kau membunuh anakmu sendiri, Siska!”
“Maksudmu? Itu Ia...?” serunya getir menunjuk jenazah anakku.
“Ya, dia Ia kita. Ia yang pemain bola cilik kita..”
“Tidak-Tidak. Tidaaak...” teriak Siska sambil berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku jenazah anakku seraya menangis histeris.seorang petugas menghampiri Siska dan memberikan secarik kertas yang tergenggam ditangan Sakira saat ia diturunkan dari tiang panggantungan. “Terima kasih Mama, aku sayang Mama” tulisan dari kertas tersebut. Tak kusangka jika Sakira sudah mengetahui jika majikannya adalah mamanya sendiri.
6 bulan yang lalu, sejak istriku gila. Entah masih istriku atau bukan, yang ku tahu aku belum menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia meninggal karena bunuh diri. Dia ingin dikuburkan disebalah anakku Sakira. Kudengar dari pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak “Iaaa sayang, apalgi yang pecah, nak?”. Kamu tahu Siska, kali ini yang pecah berantakan adalah hatiku.
Read more ...

Sahabat Tak Terduga

Senin, 23 September 2013

 “Vanny, kamu kenapa? Kok buru-buru sekali. Sarapan dulu, nanti kamu sakit.”, ujar mama khawatir.
“Iya, ma. Tapi, aku takut ntar telat lagi.”, jawabku bingung.
“Sarapan sebentar. Masih juga jam segini, masa telat. Sudah makan dulu sana, biar nanti mama suruh pak amir anter kamu kesekolah biar gak telat.”, ujar mama.
Aku pun menuruti permintaan mama. Aku pun sarapan. Dan tak henti-hentinya aku memandangi  jam dinding  yang berada diruang makan. Selesai sarapan aku dengan cepat mengambil tasn, berpamitan dengan maman. Kemudian, aku memanggil pak amir, supirku. Dan langsung meluncur ke sekolah.
“Vanny pergi ya ma. Assalamu’alaikum.”Pamitku kepada mama.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya sayang.”, jawab mama dari dalam rumah.
Tidak lama kemudian, mobilku mogok ditengah jalan. Aku terkejut dan kesal. Aku yakin hari ini pasti terlambat lagi.
“lho, pak kenapa berhenti ?”Tanyaku bingung
“Iya, non. Maaf,sepertinya  mobilnya mogok.”, jawab pak Amir
“Mogok ? Aduh, bagaimana ini.”, ujarku terkejut dan kecewa
Tanpa berpikir panjang aku keluar dari mobil, dan langsung menyetop taksi yang lewat. Aku tidak memikirkan pak Amir dengan mobilnya yang mogok itu.
Sesampai disekolah, dugaanku benar, ternyata hari ini aku telat lagi. Perasaanku mulai tidak enak. Dan benar dibelakangku ada Michel yaitu teman satu sekolahnya. Inilah yang menyebabkan aku takut sekali terlambat kesekolah. Karena, aku paling males bertemu dengan Michel. aku tidak suka melihat Michel karena Michel itu menyebalkan menurutku. Setelah sebal melihat Michel yang berada tidak jauh dibelakangku, aku langsung pergi dan berjalan begitu cepat. Kemudian, Michel memanggilku.
“Hey, kau. Kenapa setiap kali aku terlambat, kau selalu ada?”, Tanya Michel dengan nada yang menyebalkan.
Tapi, aku hanya diam saja. Michel pun berbicara lagi.
“Jangan bilang kau ini terlambat hanya ingin melihatku.”Tanya Michel dengan pedenya.
“Apa kau bilang? Kau ini bermimpi ya. Tidak mungkin aku terlambat hanya ingin melihatmu. Hey, kau pikir kau ini siapa?!”, jawabku dengan kesal.
“Sudahlah, akui saja. Kau tidak perlu malu, semua para gadis yang ada disini semuanya seperti itu.”, kata Michel dengan pedenya lagi.
“Hey, dengar ya. Tidak semua gadis yang ada disini seperti itu. Kau tau melihatmu saja aku sudah ingin muntah.”, kataku sangat kesal.
“Yasudahlah, tidak ada gunanya berbicara denganmu. Membuang waktuku saja.”, kata Michel  dengan santai.
“Apa kau bilang ? Dasar menyebalkan.”, gumamku dalam hati.
Setelah bebas dari hukuman, aku langsung berjalan dengan cepat menuju kelas. Didalam kelas, aku sangat kesal mengingat kejadian pada saat telat tadi.
“Menyebalkan..menyebalkan..menyebalkan.”, gumamku dalam hati.
 “Kau ini kenapa ?”, Tanya Siska penasaran.
Aku terkejut mendengar pertanyaan dari Siska yang tiba-tiba menghampiriku.
“Ti..tidak. Aku tidak apa-apa.”, jawabku.
“Sudahlah kau jangan bohong pada kami. Sebenernya kau ini kenapa ?”, tanya Siska lagi.
“Sepertinya kau tadi terlambat bersama Michel lagi ya ?”, sambung Sakira.
“Iya, menyebalkan.”jawabku dengan nada kesal.
“Dia mengganggumu lagi? Sebaiknya tidak usah dihiraukan. Dia itu sedikit gila.”, ujar Sakira. Pernyataan Sakira menenangkanku dan aku tak memikirkan kekesalanku kembali.
“teeettt...teeettt...”, bunyi bel istirahat membuatku senang dan langsung menuju kantin. Setelah sampai dikantin, aku langsung memesan makanan agar dapat meja untuk makan.. Melihat Michel, selera makanku jadi hilang. Dan aku berhenti makan karena aku malas melihat Michel yang berada dikantin. Dan kebetulan posisi duduknya itu berdekatan denganku.
“Huh..dia lagi.”, kataku dengan nada pelan.
Aku mulai was-was karena ia menghampirinku.
“Kau lagi rupanya. Kau tidak bosan mengikuti ku terus?”, cetus Michel dengan pedenya.
Aku yang terkejut mendengar pertanyaan Michel. Langsung ku jawab dengan sedikit agak kesal.
“Yang mengikutimu siapa? Kau ini benar-benar bodoh ya. Kau tidak lihat aku yang terlebih dahulu berada disini?”, jawabku.
“Itu bukan urusanku. Yang ku tahu kau selalu ada dimana pun aku berada.”kata Michel dengan menaikkan alis matanya sebelah.
Pada saat aku ingin berbicara, Michel memotong pembicaraan dan ngoceh lagi .
“Kau..”, kata Michel.
“Ah, sudahlah. Lebih baik aku pergi saja. Berbicara denganmu itu hanya membuang waktu ku saja”, ujar Michel lalu pergi.
Aku hanya diam. Dan kali ini aku benar-benar sangat kesal. Sakira langsung menenangkanku. Wajahku sudah seperti jeruk purut katanya. Sedangkan Siska terlihat begitu sedih melihat Michel pergi. Siska pun memanggil Michel. Mendengar panggilan Siska, Michel berhenti dan menoleh kebelakang. Melihat Michel yang menoleh ke belakang, Siska langsung melambaikan tangannya dan tersenyum malu. Michel membalas senyumnya, tapi hanya senyum kecil. Hal itu membuat Sakira bengong dan memasang wajah yang bodohnya.
“Aku curiga denganmu,”, kata Sakira kepada Siska.
“Kenapa?”, jawab Siska bingung.
“Sepertinya, kau ini benar-benar sudah gila. Apa kau mau aku temani ke rumah sakit?” Tanya Sakira.
“Rumah sakit apa?”, Tanya Siska dengan lugunya.
“Rumah sakit jiwa. Kau tahu, aku khawatir melihatmu.”ujar Sakira.
“Heh, kau ini.”, kata Siska kesal.
“Sudahlah, kalian ini bisa tidak kalau tidak membahas Michel.”, cetusku kesal disela perdebatan mereka berdua.
Siska dan Sakira pun hanya diam. Beberapa menit kemudian bel berbunyi, menandakan jam istirahat selesai. Kami langsung menuju kelas.
Dan tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan waktunya pulang. Kami langsung pulang menuju ke rumah masing-masing. Pada saat malam, aku menyelesaikan tugasku tidak sampai larut malam. Aku tidak mau kalau besok terlambat lagi pergi ke sekolah. Selesai mengerjakan tugas, aku langsung pergi tidur.
Keesokan harinya. Pada saat adzan subuh berkumandang, aku  terbangun dari tidur. Mama, mengetuk pintu kamar untuk mengingatkanku sholat subuh.
“Van, jangan lupa sholat ya! Sudah adzan.”suruh mama.
“Iya ma. Vanny sholat.”, jawab Vannyy.
Selesai sholat aku segera mandi dan langsung sarapan seperti biasanya.  Kali ini aku benar-benar tidak ingin terlambat lagi. Aku pun pergi dengan cepat. Sesampai disekolah kutersenyum bahagia. Karena hari ini aku tidak datang terlambat lagi. Berbeda dengan Michel. Michel hari ini datang terlambat lagi karena bangunnya kesiangan.
Pada saat aku keluar kelas, tidak sengaja ku melihat Michel yang dihukum. Michel dihukum dilapangan dan disuruh membersihkan lapangan. Lapangan sekolah yang kotor penuh sampah dedaunan. Melihat itu aku tersenyum bahagia. Tak lama Michel sadar, dan langsung menoleh kearahku. Pada saat Michel menoleh ke arahku, aku langsung meliahat kearah lain seakan tidak terjadi sesuatu.  Michel melihatku dengan tatapan sinis.
Pada jam istirahat, seperti biasa, semua siswa berhamburan ke kantin.
“Bruuk..”
“Heh, kau ini bisa lihat tidak ?”, Tanyaku.
“Sudah, tidak usah banyak bicara. Mau aku bantu.”, jawab Michel dan mengulurkan tangannya.
aku memberikan tangannku yang mau ditolong oleh Michel. Tetapi, Michel tidak benar-benar mau membantuku.
“Sepertinya, kau tidak membutuhkan bantuanku.”, kata Michel membuat aku kesal.
 “Kau ini benar-benar keterlaluan. Menyebalkan, kau yang telah menabrak ku. Dan sekarang kau pergi begitu saja.”, kataku marah.
“Haha… kau ini, terlihat lucu kalau seperti itu. Sudahlah, tidak perlu marah-marah begitu.”, kata Michel dengan santai.
Lalu kusiramkan minuman yang ada ditanganku itu ke wajah Michel. Lalu akutersenyum dan kemudian tertawa puas.
“Hahahahaha…”, tawaku puas.
“(tersenyum) ini lebih lucu.”, sambungku lagi dan langsung pergi meninggalkan Michel.
Pada saat pulang sekolah, aku menunggu pak Amir menjemputku. Michel lewat di depanku dan aku hanya tersenyum mengingat kejadian tadi. Michel melihatku sinis karena kesal dengan kejadian tadi.
“Kenapa kau? Kau kira, kau ini terlihat manis kalau tersenyum seperti itu ?”, ledek Michel.
 “Bukan urusanmu!”, jawabku.
Mendengar ucapanku, Michel langsung pulang. Dan tidak lama kemudian aku dijemput. Sesampai dirumah, seperti biasa aku langsung istirahat.Hari pun sudah malam. Malam ini aku sulit untuk tidur.
Keesokkan harinya, seperti rutinitas biasa, aku langsung pergi ke sekolah agar tak terlambat.
“Vanny, kau tau. Michel hari ini lebih cepat datangnya daripada kau.”, Sakira memberitahu.
“Mungkin dia sudah lelah, dengan hukumannya sehari-hari. Sudahlah, itu bukan urusanku.”, jawabku santai.
“Mungkin, dia tidak tega melihatku sedih.”sambung Siska.
“Melihatmu sedih? Maksudmu, dia tidak tega melihatmu gila.”, jawab Sakira.
“Bukan, kau kan tahu kalau aku selalu sedih melihatnya dihukum.”, tambah Siska.
“Ya sudahlah, terserah kau saja.”, jawab Sakira agak malas.
Bel menandakan pulang pun berbunyi. Aku tidak langsung pulang. Karena aku mau pergi ke toko buku. Setelah mebeli buku yang ku cari, aku langsung menunggu pak Amir menjemputku. Tidak sengaja aku melihat ke arah seorang ibu yang mau tertabrak. aku pun lari dan berteriak.
“Awaaaaass..”teriakku.
aku dan ibu tadi pun terjatuh. Tangan ibu itu terluka karena terserempet dan ibu itu pun tidak sadarkan diri. Kepalaku berdarah karena terbentur. Tapi, aku terlihat baik-baik saja. Aku kaget melihat ibu yang tadi ku tolong tidak sadarkan diri. Aku langsung membawa ibu itu ke rumah sakit. Tapi, aku tidak bisa menunggu lama karena aku harus pulang. Kemudian, aku pun pulang setelah aku membayar semua biaya pengobatan.
Kamis pagi ini, aku tidak begitu cepat datang ke sekolah. Karena peristiwa kemarin yang membuat kepalanku terbentur. Siska dan Sakira terkejut melihat keningku yang dibalut.
“Kau tidak apa-apa?”, tanya Siska.
“Kenapa keningmu seperti ini?”, tanya Sakira khawatir.
“Hanya kecelakaan kecil. Sudah, aku tidak apa-apa.”jawabku singkat.
Jam istirahat pun tiba. Tiba-tiba Michel bertanya,
“Kenapa dengan kening mu itu?”, Tanya Michel.
“Bukan urusanmu.”jawabku dan langsung pergi.
Setelah beberapa lama hari terlewati. Tibalah hari. Hari ini aku terlambat kembali dan kulihat ada Michel. Aku langsung memegangi keningnku dan menghela nafas. Hukuman kali ini adalah menyapu halaman sekolah. Dengan muka yang lelah aku mulai menyapu. Aku tidak sengaja menoleh ke  arah Michel dan kumelihat Michel tersenyum kepadaku. Aku yang heran langsung pergi begitu saja.
Bel menandakan istirahat pun berbunyi. Dan hukuman pun selesai. Siska dan Sakira menghampiriku.
“Kenapa kau terlambat lagi?”, tanya Sakira.
“Tidak tahu, hari ini aneh.”jawabku singkat.
Pada saat aku asyik berbicara dengan sahabatku. Michel lewat dan tersenyum kepadaku. Aku yang melihatnya bingung dan merasa aneh.
“Hey, yang senyum dengan mu itu siapa?”,tanya Sakira heran.
“Kau tidak lihat, Michel dari tadi senyum padaku.”, cetus Siska.
“Tidak, yang kulihat dari tadi Michel tersenyum kepada Vanny.”, jawab Sakira.
“Ada hubungan apa kau dengan Michel?”, tanya Siska kepadaku.
“Tidak ada, kau ini bicara apa ?”jawabku.
“Mungkin saja dia sudah berubah.”, ujar Sakira.
“Ntahlah, aku tidak tahu.”, kataku dan pergi.
Setelah beberapa jam kemudian. Bel pun bebunyi menandakan waktunya pulang. Seperti biasa aku menunggu pak Amir menjemputku. Tapi, kali ini pak Amir lama sekali untuk menjemputku. Beberapa menit kemudian, Michel lewat dengan sepeda motornya. Michel langsung berhenti/
“Kau belum dijemput? Pulang saja denganku. Tenang saja, aku akan mengantarkanmu sampai rumah.”, kata Michel menawarkan tumpangan kepadaku.
“Tidak usah.”, jawabku singkat.
“Benar? Kau yakin? Sudah sore begini kau masih mau disini sendiri. Sudah ayo naik saja.”, Michel mencoba menawarkan lagi.
Aku melihat jam tanganku. Dan ternyata sudah sore sekali. Aku menerima tawaran dari Michel. Kami pun pulang.
Setiba dirumah.
“Terimakasih”, ucapku kepada Michel.
Michel hanya tersenyum dan berkata “Maaf.”
Mendengar ucapan itu, aku langsung menoleh ke belakang dan tersenyum. Kemudian, Michel berkata lagi.
“Aku juga ingin mengucapkan terimakasih kepadamu. Terimakasih..”,ucap Michel.
Aku hanya diam dan bingung.
“Aku berterimakasih, karena kau telah menolong ibuku.”, ucap Michel lagi.
“Ibu?”, tanyaku bingung.
Kemudian Michel tersenyum dan pulang. Lalu tiba-tiba ku teringat pada kejadian kecelakaan itu.
“Jadi…”, gumamku dalam hati.
Pada Hari Senin, aku pagi ini datang cepat. Karena ingin bertemu dengan Michel. Tidak lama kemudian Michel pun datang.
“Michel.”panggilku.
Michel pun berhenti.
“Kau? ada apa?”, tanya Michel.
“Apa benar itu ibumu?”, tanyaku.
“Kenapa kau bertanya seperti itu.”, tanya Michel lagi.
“Kalau benar itu ibumu. Bagaimana dengan keadaannya sekarang?”, tanyaku khawatir.
“Ibuku baik-baik saja. Kau belum menjawab ucapanku kemarin.”, jawab Michel.
“Apa? Ucapan yang mana?”Tanyaku.
“Maaf. Aku meminta maaf padamu. Kau mau memaafkanku?”, tanya Michel berharap.
“Haha... ternyata itu. Iya, aku sudah memaafkanmu. Tenang saja.”, jawabku singkat.
“Alhamdulillah. Terimakasih aku senang sekali mendengarnya.”, ucap Michel.
Lalu kami pun berjalan berdua menuju ke kelas masing-masing.
Pada jam istirahat kami berdua bertemu dikantin.
“Aku boleh duduk disini?”, tanya Michel.
“Eh, kau mengagetkan saja. Iya, duduk saja.”, jawabku.
“Aku ingin bertanya padamu.”, ucap Michel.
“Apa?”, jawabku heran.
“Sekarang kau menganggapku sebagai apa?”, tanya Michel.
“Teman.”, jawaban singkat dariku.
“Kau hanya menganggapku teman?”, tanya Michel lagi
Kemudian, kuulurkan tanganku dan berkata “sahabat”
“Sahabat?”, tanyaku dengan mengulurkan tangan.
Dan Michel pun tersenyum lalu menjabat tanganku.
Dan akhirnya, kami pun bersahabat. Dari situ kami sering ke kantin bareng, berangkat sekolah bareng. Dan selalu bersahabat selamanya.

Read more ...