Kesalahanku

Senin, 23 September 2013
Haii.. hari ini mimin akan ngepost cerpen yang awalnya buat tugas sekolah, namun karena keluar jalur jadi tereliminasi. dan cerpen yang dikumpulkan adalah cerpen sebelum pos ini yaitu "Sahabat Tak Terduga". Cekidooot broo..!!!
25 tahun yang lalu, namaku tercatat dalam catatan sipil bersama Siska istriku. Pernikahan yang sederhana dengan tak bersama orang tua kami, melainkan Wali kami. Dengan kurun waktu 30 menit prosesi pernikahan kami selesai, tanpa sungkem dan siraman atau hidangan khas penikahan dan jabat tangan dari kerabat. Namun aku bersyukur teman kami Humam dan Nurul masih menyempatkn hadir sebagai saksi.
23 tahun yang lalu, pekerjaanku bukan pekerjaan elit, tapi cukup sebagai penyambung hidup keluargaku. Ya, keluargaku, karena kami baru saja dikarunia seorang putri, kuberi nama Sakira. Aku berharap putriku akan menjadi orang yang sempurna, maksudku sempurna dalam berbudi. Kulitnya masih tipis dan lembut, mungkin karena umurnya baru menginjak satu minggu. Namun sayang, peri mungilku tak dijenguk oleh kakek neneknya dan aku merasa prihatin. Ya sudahlah, aku merenung dan menccoba menerima nasib kembali. Orang tuaku dan orang tua Siska tak merestui hubungan kami. Namun aku tak berhak untuk membenci mereka. Aku hanya bisa berharap, suatu ketika mereka berubah dan merestui kami.
20 tahun yang lalu, Sakiraku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari dan melompat-lompat atau meloncat dari sofa ke sofa yang lain lalu loncat kembali ke lantai kemudia berteriak girang “Horeee Ia bisa terbang” begitulah dia memanggil dirinya sendiri dengan Ia. Tak jarang Siska berteriak “ Iaa sayaang hati-hati” jika sudah terdengar suara “praang”, berarti ada sesuatu yang pecah. Bisa vas bunga, piring, atau gelas, terakhir pot bunga kesangan ibunya pecah tersandung kakinya.
18 tahun yang lalu, Sakira ulang tahun. Aku sengaja menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat dan pulang lebih awal agar bisa membelikan hadiah untuk Sakira. Sudah lama Sakira merengek minta dibelikan bola, namun Siska tak membelikannya dengan alasan tak mau anaknya menjadi tomboy apalagi jadi pesepak bola seperti yang dikatakannya. “Besok kalo udah gede Ia ingin menjadi pemain bola”. Namun aku tak ingin melihatnya menangis terus menerus meminta bola, makanya aku ingin menghadihi bola untuk Sakira dihari ulang tahunnya. Yahh.. paling tidak untuk lawan main pas weekend. Dan sudah kuduga, ia bersorak gembira ketika ku berikan bola itu. “Hore.., Ia jadi pemain bola.” Kata sakira dengan muka polosnya.
17 tahun yang lalu, aku tak tahu bagaimana Siska tak tahu jika Sakira menyembunyikan bola ditas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari Sabtu saat menjemput Sakira pulang. Kudapati ia sedang menggiring bola sepanjang jalan dan semakin lama semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, kekhawatiranku mengalahkan kehati-hatianku. Tiba-tiba sebuah truk datang dan menabrakku, lindasn ban besarnya berhenti tepat dikedua kakiku. Tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, kudapati diriku diatas ranjang rumah sakit dengan kaki telah diamputasi. Bayang-bayang suram menyelimuti pikiranku, mau kasih makan apa keluargaku ini sedangkan aku tak mempunyai kaki. Apalagi pekerjaanku sebagai pengantar barang.
15 tahun yang lalu, perekonomianku amburadul. Uang pesangon dari perusahaan sudah habis untuk bolak-balik rumah sakit, uang tabunganpun sudah ludes menjadi asap dapur. Perabotan rumah tangga yang bisa dijual sudah habis. Siska mulai berubah, Sakira sering dibentak dan tak diperhatikan. Aku hanya bisa membelainya dan berkata, “mama sedang pusing jadi cepat marah”. Dan aku terkejut ketika Siska mengutarakan niatnya untuk bekerja keluar negeri agar penghasilan bertambah. “Diizinkan ataupun tak diizinkan Siska tetap akan berangkat”, cetusnya.
            13 tahun yang lalu, perekonomianku mulai membaik. Siska mengirimiku uang hasil bekerjanya, tapi itu hanya setahun kurang lebih. Setelah itu aku tak mendengar kabarnya. Apalagi tahun ini Sakira daftar SMP. Ya, anakku memang dibilang cukup cerdas sehingga ia bisa loncat 1 tahun di SD-nya. Akan kupaksakan diriku bekerja agar Sakira dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bekerja apapun yang penting mendapatkan uang yang halal bagi keluargaku.
10 tahun yang lalu, aku sedih karena banyak tetangga yang menyela kecacatanku. “Suami dan bapak macam apa kamu ini...” kalimat itu uang seriing kudengar dari mereka. Sakira hanya sanggup berlari kekamarnya lalu menangis sesenggukan. Dia juga sering jadi bulan-bulanan hinaan oleh teman-temannya. Aku hanya bisa menenangkannya. Dan pada suatu saat anakku bilang “pak aku ingin berhijab saja agar tak mendapat hinaan dari mana-mana”. Aku hanya bisa menangis dan bilang dalam hati “maafkan bapakmu ini nak”.
7 tahun yang lalu, seharian ini aku kembali memikirkan Siska yang sudah bertahun-tahun tak terdengar kabarnya. Tak bisa kubohongi diriku sendiri jika aku masih menyimpan rindu padanya. Dan itu pula yang membuatku takut, semalam Sakira mengutarakan niatnya untuk bekerja menjadi TKI ke Arab dengan alasan sulit mencari pekerjaan disini sebagai lulusan SMP. Sulit bagiku untuk melepaskan anakku pergi. Dia bilang kalau aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan menyuruhku untuk beristirahat. Dia berjanji akan mengirimi ku uang untuk kebutuhan sehari-hari dan ditabung. Setelah itu ia akan pulang menemaniku membuka usaha kecil-kecilan sebagai penyambung hidup. Dan seperti yang telah lalu, aku tak kuasa menghalanginya pergi. Aku hanya bisa berdoa agar Sakira baik-baik saja.
4 tahun yang lalu, Sakira tak pernah telat mengirimiku uang. Hampir tiga tahun ia disana. Dia bekerja sebagai pelayan di rumah seorang nyonya. Namun, ia tak suka dengan suaminya yang sering ia panggil Baba. Matanya tak pernah megisaratkan hal baik, ia juga penuyka wanita. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang ia ingin pulang, karena akhir-akhir ini ia sering diganggu oleh si Baba. Lebaran ia akan berhenti bekerja dan pulang, itu yang kubaca dari suratnya. Aku sudah tak sabar menunggu saat-saat itu, berkumpul kembali dengan anakku yang tercinta. Ia juga sekarang lebih pintar dan dewasa menasehatiku untuk menjaga kesehatan dan rajin beribadah.
3 tahun yang lalu, seakan setengah nyawaku telah hilang. Aku mendapat surat dari kepolisian Arab bahwa Sakira ditahan dan lebih menyakitkannya adalah ancaman hukuman mati, karena ia membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendengar kabar ini, aku menangis dan tak percaya Sakiraku yang lemah lembut mana mungkin jadi pembunuh. Tenaga tuaku kukuras untuk meminta bantuan hukum Indonesia, agar hukumannya diringankan jika memang bersalah.
2 tahun yang lalu, akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani  hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi nasibnya tak akan seburuk ini. Andai aku tak belikan ia bola pasti keadaanku lebih baik.  Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku, atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Arab. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak, ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.  Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur kearahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku. “Bapak, Ia takut” aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. “Kenapa, kenapa kamu membunuhnya sayang?”
“Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengan iya Pak,  Ia tidak mau, Ia dipukulnya,  Ia takut dan Ia dorong lalu dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati, Ia tidak salah kan, Pak?” Aku perih mendengar itu
1 tahun 4 bulan yang lalu, aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Arab selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu. Dan lupa aku selalu berdoa agar anakku akan baik-baik saja.
1 tahun yang lalu, hari ini anakku dieksekusi hukuman gantung, dan wanita itu akan hadir melihat pengeksekusian anakku. Aku mendengar dari perugas dia sudah datang dan berda dibelakangku. Aku tak mau melihat wanita itu. Aku melihat isyarat tangan dari hakim ke petugas untuk membuka papan yang diinjak anakku. Dan, blaass... anakku yang mungil yang bercita-cita menjadi pemain bola sudah tergantung dan tak bernyawa. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan dan aku mendengar langkah kaki menuju ke arahku. Ternyata wanita itu, dengan membuka cadarnya dan tersenyum sinis ke arahku. Dalam samar penglihatku, kumelihat sosok yang kukenal.
“Siska?”
“Mas Tono, kau...!”
“Kau... Kau membunuh anakmu sendiri, Siska!”
“Maksudmu? Itu Ia...?” serunya getir menunjuk jenazah anakku.
“Ya, dia Ia kita. Ia yang pemain bola cilik kita..”
“Tidak-Tidak. Tidaaak...” teriak Siska sambil berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku jenazah anakku seraya menangis histeris.seorang petugas menghampiri Siska dan memberikan secarik kertas yang tergenggam ditangan Sakira saat ia diturunkan dari tiang panggantungan. “Terima kasih Mama, aku sayang Mama” tulisan dari kertas tersebut. Tak kusangka jika Sakira sudah mengetahui jika majikannya adalah mamanya sendiri.
6 bulan yang lalu, sejak istriku gila. Entah masih istriku atau bukan, yang ku tahu aku belum menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia meninggal karena bunuh diri. Dia ingin dikuburkan disebalah anakku Sakira. Kudengar dari pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak “Iaaa sayang, apalgi yang pecah, nak?”. Kamu tahu Siska, kali ini yang pecah berantakan adalah hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar