Haii.. hari ini mimin akan ngepost cerpen yang awalnya buat tugas sekolah, namun karena keluar jalur jadi tereliminasi. dan cerpen yang dikumpulkan adalah cerpen sebelum pos ini yaitu "Sahabat Tak Terduga". Cekidooot broo..!!!
25
tahun yang lalu, namaku tercatat dalam catatan sipil bersama Siska istriku.
Pernikahan yang sederhana dengan tak bersama orang tua kami, melainkan Wali
kami. Dengan kurun waktu 30 menit prosesi pernikahan kami selesai, tanpa
sungkem dan siraman atau hidangan khas penikahan dan jabat tangan dari kerabat.
Namun aku bersyukur teman kami Humam dan Nurul masih menyempatkn hadir sebagai
saksi.
23
tahun yang lalu, pekerjaanku bukan pekerjaan elit, tapi cukup sebagai
penyambung hidup keluargaku. Ya, keluargaku, karena kami baru saja dikarunia
seorang putri, kuberi nama Sakira. Aku berharap putriku akan menjadi orang yang
sempurna, maksudku sempurna dalam berbudi. Kulitnya masih tipis dan lembut,
mungkin karena umurnya baru menginjak satu minggu. Namun sayang, peri mungilku
tak dijenguk oleh kakek neneknya dan aku merasa prihatin. Ya sudahlah, aku
merenung dan menccoba menerima nasib kembali. Orang tuaku dan orang tua Siska
tak merestui hubungan kami. Namun aku tak berhak untuk membenci mereka. Aku
hanya bisa berharap, suatu ketika mereka berubah dan merestui kami.
20
tahun yang lalu, Sakiraku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari
dan melompat-lompat atau meloncat dari sofa ke sofa yang lain lalu loncat
kembali ke lantai kemudia berteriak girang “Horeee Ia bisa terbang” begitulah
dia memanggil dirinya sendiri dengan Ia. Tak jarang Siska berteriak “ Iaa sayaang
hati-hati” jika sudah terdengar suara “praang”, berarti ada sesuatu yang pecah.
Bisa vas bunga, piring, atau gelas, terakhir pot bunga kesangan ibunya pecah
tersandung kakinya.
18
tahun yang lalu, Sakira ulang tahun. Aku sengaja menyelesaikan pekerjaanku
lebih cepat dan pulang lebih awal agar bisa membelikan hadiah untuk Sakira.
Sudah lama Sakira merengek minta dibelikan bola, namun Siska tak membelikannya
dengan alasan tak mau anaknya menjadi tomboy apalagi jadi pesepak bola seperti
yang dikatakannya. “Besok kalo udah gede Ia ingin menjadi pemain bola”. Namun
aku tak ingin melihatnya menangis terus menerus meminta bola, makanya aku ingin
menghadihi bola untuk Sakira dihari ulang tahunnya. Yahh.. paling tidak untuk
lawan main pas weekend. Dan sudah
kuduga, ia bersorak gembira ketika ku berikan bola itu. “Hore.., Ia jadi pemain
bola.” Kata sakira dengan muka polosnya.
17
tahun yang lalu, aku tak tahu bagaimana Siska tak tahu jika Sakira
menyembunyikan bola ditas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari Sabtu saat
menjemput Sakira pulang. Kudapati ia sedang menggiring bola sepanjang jalan dan
semakin lama semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, kekhawatiranku
mengalahkan kehati-hatianku. Tiba-tiba sebuah truk datang dan menabrakku,
lindasn ban besarnya berhenti tepat dikedua kakiku. Tak tahu apa yang terjadi
selanjutnya, kudapati diriku diatas ranjang rumah sakit dengan kaki telah
diamputasi. Bayang-bayang suram menyelimuti pikiranku, mau kasih makan apa keluargaku
ini sedangkan aku tak mempunyai kaki. Apalagi pekerjaanku sebagai pengantar
barang.
15
tahun yang lalu, perekonomianku amburadul. Uang pesangon dari perusahaan sudah
habis untuk bolak-balik rumah sakit, uang tabunganpun sudah ludes menjadi asap
dapur. Perabotan rumah tangga yang bisa dijual sudah habis. Siska mulai
berubah, Sakira sering dibentak dan tak diperhatikan. Aku hanya bisa
membelainya dan berkata, “mama sedang pusing jadi cepat marah”. Dan aku
terkejut ketika Siska mengutarakan niatnya untuk bekerja keluar negeri agar
penghasilan bertambah. “Diizinkan ataupun tak diizinkan Siska tetap akan
berangkat”, cetusnya.
13
tahun yang lalu, perekonomianku mulai membaik. Siska mengirimiku uang hasil
bekerjanya, tapi itu hanya setahun kurang lebih. Setelah itu aku tak mendengar
kabarnya. Apalagi tahun ini Sakira daftar SMP. Ya, anakku memang dibilang cukup
cerdas sehingga ia bisa loncat 1 tahun di SD-nya. Akan kupaksakan diriku
bekerja agar Sakira dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bekerja apapun
yang penting mendapatkan uang yang halal bagi keluargaku.
10
tahun yang lalu, aku sedih karena banyak tetangga yang menyela kecacatanku.
“Suami dan bapak macam apa kamu ini...” kalimat itu uang seriing kudengar dari
mereka. Sakira hanya sanggup berlari kekamarnya lalu menangis sesenggukan. Dia
juga sering jadi bulan-bulanan hinaan oleh teman-temannya. Aku hanya bisa
menenangkannya. Dan pada suatu saat anakku bilang “pak aku ingin berhijab saja
agar tak mendapat hinaan dari mana-mana”. Aku hanya bisa menangis dan bilang
dalam hati “maafkan bapakmu ini nak”.
7
tahun yang lalu, seharian ini aku kembali memikirkan Siska yang sudah
bertahun-tahun tak terdengar kabarnya. Tak bisa kubohongi diriku sendiri jika
aku masih menyimpan rindu padanya. Dan itu pula yang membuatku takut, semalam
Sakira mengutarakan niatnya untuk bekerja menjadi TKI ke Arab dengan alasan
sulit mencari pekerjaan disini sebagai lulusan SMP. Sulit bagiku untuk
melepaskan anakku pergi. Dia bilang kalau aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan
menyuruhku untuk beristirahat. Dia berjanji akan mengirimi ku uang untuk
kebutuhan sehari-hari dan ditabung. Setelah itu ia akan pulang menemaniku
membuka usaha kecil-kecilan sebagai penyambung hidup. Dan seperti yang telah
lalu, aku tak kuasa menghalanginya pergi. Aku hanya bisa berdoa agar Sakira
baik-baik saja.
4
tahun yang lalu, Sakira tak pernah telat mengirimiku uang. Hampir tiga tahun ia
disana. Dia bekerja sebagai pelayan di rumah seorang nyonya. Namun, ia tak suka
dengan suaminya yang sering ia panggil Baba. Matanya tak pernah megisaratkan
hal baik, ia juga penuyka wanita. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang
keempat. Dia bilang ia ingin pulang, karena akhir-akhir ini ia sering diganggu
oleh si Baba. Lebaran ia akan berhenti bekerja dan pulang, itu yang kubaca dari
suratnya. Aku sudah tak sabar menunggu saat-saat itu, berkumpul kembali dengan
anakku yang tercinta. Ia juga sekarang lebih pintar dan dewasa menasehatiku
untuk menjaga kesehatan dan rajin beribadah.
3
tahun yang lalu, seakan setengah nyawaku telah hilang. Aku mendapat surat dari
kepolisian Arab bahwa Sakira ditahan dan lebih menyakitkannya adalah ancaman
hukuman mati, karena ia membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendengar kabar
ini, aku menangis dan tak percaya Sakiraku yang lemah lembut mana mungkin jadi
pembunuh. Tenaga tuaku kukuras untuk meminta bantuan hukum Indonesia, agar
hukumannya diringankan jika memang bersalah.
2
tahun yang lalu, akhirnya putusan
itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman
gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya.
Andai aku tak izinkan dia pergi nasibnya tak akan seburuk ini. Andai aku tak
belikan ia bola pasti keadaanku lebih baik.
Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku, atas permintaan
anakku aku dijemput terbang ke Arab. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat
terakhirnya. Lihatlah,
dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak, ingin rasanya aku berlari
tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk
ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur kearahku, memelukku erat, seakan
tak ingin melepaskan aku. “Bapak, Ia takut” aku memeluknya lebih erat lagi.
Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. “Kenapa, kenapa kamu membunuhnya
sayang?”
“Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengan iya Pak, Ia tidak mau, Ia dipukulnya, Ia takut dan Ia dorong lalu dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati, Ia tidak salah kan, Pak?” Aku perih mendengar itu
“Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengan iya Pak, Ia tidak mau, Ia dipukulnya, Ia takut dan Ia dorong lalu dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati, Ia tidak salah kan, Pak?” Aku perih mendengar itu
1 tahun 4 bulan yang lalu, aku iba dengan nasib
anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat
lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga
orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi
menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Arab selama enam bulan untuk
memohon hukuman pada wanita itu. Dan lupa aku selalu berdoa agar anakku akan
baik-baik saja.
1 tahun yang lalu, hari ini anakku dieksekusi
hukuman gantung, dan wanita itu akan hadir melihat pengeksekusian anakku. Aku
mendengar dari perugas dia sudah datang dan berda dibelakangku. Aku tak mau
melihat wanita itu. Aku melihat isyarat tangan dari hakim ke petugas untuk
membuka papan yang diinjak anakku. Dan, blaass... anakku yang mungil yang
bercita-cita menjadi pemain bola sudah tergantung dan tak bernyawa. Setelah
yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan dan aku mendengar langkah kaki
menuju ke arahku. Ternyata wanita itu, dengan membuka cadarnya dan tersenyum
sinis ke arahku. Dalam samar penglihatku, kumelihat sosok yang kukenal.
“Siska?”
“Mas Tono, kau...!”
“Kau... Kau membunuh anakmu sendiri, Siska!”
“Maksudmu? Itu Ia...?” serunya getir menunjuk
jenazah anakku.
“Ya, dia Ia kita. Ia yang pemain bola cilik
kita..”
“Tidak-Tidak. Tidaaak...” teriak Siska sambil
berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku jenazah anakku seraya
menangis histeris.seorang petugas menghampiri Siska dan memberikan secarik
kertas yang tergenggam ditangan Sakira saat ia diturunkan dari tiang
panggantungan. “Terima kasih Mama, aku sayang Mama” tulisan dari kertas
tersebut. Tak kusangka jika Sakira sudah mengetahui jika majikannya adalah
mamanya sendiri.
6 bulan yang lalu, sejak istriku gila. Entah
masih istriku atau bukan, yang ku tahu aku belum menceraikannya. Terakhir
kudengar kabarnya dia meninggal karena bunuh diri. Dia ingin dikuburkan
disebalah anakku Sakira. Kudengar dari pembantu yang mengantarkan jenazahnya
padaku, dia sering berteriak “Iaaa sayang, apalgi yang pecah, nak?”. Kamu tahu
Siska, kali ini yang pecah berantakan adalah hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar